Dalam bukunya: “Vergeten Aarde” (de Boer, 1952:227 dalam Quo Vadis Papua karya Freddy Numberi 2014:399), Van Eechoud mengatakan: “Waarheen
Papua? Hij moet naar zijn toekomst geleid worden en daarvoor is nodig,
dat wij weten welke omstandigheden en met welke krachten wij te maken
krijgen; dat wij dus een studie maken van zijn gadachten en
gevpelsleven. Zonder deze studie, die alleen vruht kan dragen als ze
berust op een zekere idealistische interrese, is alle actie en alle
plannen makerij nutteloos, ja, zelfs gevaarlijk, omdat zij slechts tot
haos kan leiden”.
Menurut
Van Eechoud, orang Papua perlu dibimbing menuju masa depannya, dan
untuk itu perlu mengetahui keadaan-keaadan dan kekuatan-kekuatan yang
akan kita hadapi; maka kita perlu melakukan studi untuk mempelajari
pikiran-pikiran dan perasaan hati nurani mereka (orang Papua). Tanpa
studi yang dilandasi suatu idealisme keberhasilan, maka semua tindakan
serta segala rencana akan sia-sia, bahkan bisa menimbulkan bahaya karena
hal ini dapat saja bermuara pada kekerasan.
Berdasarkan
pernyataan ini, maka Eechoud ketika memimpin bumi Cenderawasih, ia
telah mendatangkan berbagai ilmuwan dari berbagai jurusan untuk meneliti
Papua. Salah satu contoh di pinggir bibir danau Paniai. Pada tahun
1939-1958, ia melantik antropolog JV de Bruijn untuk memimpin rakyat
Paniai (Ndauwa, Nduga, Migani dan Ekagi). Bruijn ialah seorang ilmuwan
(antropolog) namun diberi jabatan Kepala Distrik. Sambil menjalankan
roda pemerintahan, Bruijn melakukan berbagai penelitian dibidang
antropologi budaya dan pemerintahan di wilayah itu.
Hasil
dari berbagai penelitian yang dilakukan terhadap pola hidup di enam
wilayah adat Papua (Domberai, Bomberai, Saireri, Meepago, Mamta, Laa
Pago, dan Ha-Anim) maka, kemudian Belanda tidak bingun ketika menetapkan
berbagai program dan kebijakan pembangunan. Sepertinya, ketika
Indonesia merebut Irian Barat, murid-murid Indonesia yang pernah belajar
di negeri Belanda, berbuat hal yang sama pada Belanda.
Van
Eechoud juga pernah perintahkan putra-putra cerdas dari Papua yang
tergabung dalam Dewan Suku-Suku untuk meneliti nama yang betul-betul
menunjukan identitas masyarakat Papua yang berasal dari Sorong sampai
merauke. Karena menurutnya, nama Papua berasal dari bahasa Tidore yang
mengandung arti Not Integrated atau tidak bergabung dengan anda
(pigai, 2000:225). Rupanya, raja Tidore tujukan untuk Papua New Guinea
sebagai bagian yang tidak tergabung dengan wilayah kekuasaannya.
Batasnya ditancap di Tobati yang artinya, batasku.
Kemudian,
mereka yang ditugaskan Eechoud diantaranya, Frans Kaisipo, Korinus
Krey, Yan Waromi dkk mengusulkan nama Irian dari kampung Harapan
Jayapura. Nama Irian disosialisasikan di konfrensi Malino, 16 Juli 1946.
Dalam pidatonya, Kaisepo mengatakan, Irian mengandung arti Tanah yang disirami sinar pagi yang memanas
(Rosihan Anwar dalam manuskrip buku Mapia, 2004). Sayangnya, nama ini
divulgalisir oleh kaum Digulis (pro Indonesia) menjadi Ikut Republik
Indonesia Anti Nederland (Pigai, 2000:96).
Dalam buku Mapia, nama Irian berasal dari bahasa sejumlah suku yang ada di Papua. Irian dalam bahasa Biak, iri artinya tanah, an artinya Panas, jadi Irian artinya tanah yang memanas. Dalam bahasa Serui, iri artinya tanah, an artinya bangsa jadi, Irian dalam bahasa Serui mengandung arti tiang bangsa atau tanah air. Dalam bahasa Merauke, iri artinya ditempatkan, diangkat tinggi dan an artinya bangsa, jadi Irian dalam bahasa Merauke artinya bangsa yang diangkat tinggi, bangsa yang dipuja-puji atau blessed people. Sedangkan kata an yang dipakai dalam bahasa Biak, Serui dan Merauke ditemukan kesamaan kata dari bahasa-bahasa yang ada di wilayah Mee-pago. Ann (Dani/Lani/Ndauwa, Nduga) artinya saya. Suku Mee menambah i menadi ani, artinya saya. Dari semua bahasa dari beberapa suku diatas, Irian disimpulkan mengandung arti, saya
ini atau bangsa ini (dibentuk) dari (debu) tanah panas yang tinggi
derajatnya dari makhluk hidup lain (karena memiliki akal budi).
Pengertian
Irian di atas ini, sedikit mirip dengan pernyataan penciptakan yang
dikisahkan dalam Kitab Genesis karya Nabi Musa, pasal 1 sampai dengan
pasal 8. Dimana, manusia pertama itu diciptakan dengan debu panas, namun
kemudian diusir dari taman Firdaus karena mengambil haluan independen.
Memahami pasal Kejadian, maka ternyata dua manusia pertama tidak
“berdialog” tentang apa yang diperintahkan Allah dengan apa yang dibujuk
Setan. Keduanya tanpa timbang-timbang telah dirasuki kebutuhan
badaniah, tanpa berpikir sesuatu yang lebih positif.
Seandainya,
Taman Firdaus itu kemudian hari dinyatakan berada di wilayah Papua,
dengan batas Timur Salomon Island, batas Selatan Benua Australia, Batas
Barat berada di ujung Timur pulau Sulawesi dan Kepulauan Sumba, apakah
yang diusir itu orang Kalimantan, Malasya, Jawa dan Sumatra? Sehingga
kemudian hari mereka harus kembali ke negeri asalnya? Jawabannya silakan
bertanya kepada pakar Arkeolog, Antropolog dan Geolog. Karena merekalah
yang empunya data persebaran ras umat manusia.
Lalu, apa kata Soekarno tentang Papua? Dalam buku Quo Vadis Papua karya Freddy Numberi (2014:401), Soekarno mengatakan: “Saya akan jadikan orang Irian, Tuan di tanahnya sendiri, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Numberi
melanjutkan di paragraf berikut, menjadi TUAN di atas tanah negerinya
sendiri, itulah esensi dari janji yang diikarkan oleh Seokarno, sang
proklamator Republik Indonesia. Di sini, kita teringat pada sebuah pesan
profetis dengan nada, nafas dan jiwanya semakna dengan apa yang pernah
dikatakan oleh Pendeta Izaak Samuel Kijne, sang pendidik dan pujangga
besar orang Papua asal Belanda.
Kijne mengatakan:
“Tiada seorang pandai dan berhikmat sekalipun yang dapat memimpin Papua
kecuali kelak orang Papua itu sendiri bangkit dan memimpin diri mereka
sendiri”.
Menurut
Numberi di kalimat berikut, pernyataan Kijne ini jelas bukan perkataan
seorang tokoh yang tidak mampu mengurus orang Papua, tetapi pernyataan
ini lahir dari sebuah pergumulan dan kontemplasi panjang seorang Kijne
dalam mendidik dan memahami karakter orang-orang Papua agar mandiri,
maju dan berkembang dalam peradaban Injil.
Di
kalimat berikutnya, Numberi membenarkan pernyataan IS Kijne. Numberi
menulis, semakin orang Papua bangkit dan memimpin dirinya sendiri, maka
pengetahuan dan pengalaman mereka semakin bertambah serta bermartabat.
Begitupun juga dengan kecerdasan, rasa percaya diri dan kepemimpinan.
Semakin orang Papua terus membangun dirinya secara mandiri, maka mereka
akan terus terasah menjadi arif dan bijaksana, dan akhirnya menjadi
“Tuan di atas tanahnya sendiri”. Kata kunci terwujudnya pernyataan Kijne
adalah “pendidikan, sebagai jendela dunia” dalam peradaban dunia modern
dewasa ini.
Menyoal
Papua memang rumit dan kompleks tetapi juga menyeluruh. Pemimpin
redaksi TVOne dalam Acara Indonesia Lawyer Club membahas soal Papua
dalam judul “Gonjang-Ganjing Papua”. Dalam acara itu hadir sejumlah
tokoh dan pengalamat Papua. Diantaranya ialah Freddy Numberi, Barnabas
Suebu, Theo Wanggai, Michael Manufandu, dll.
Ketika
giliran Freddy Numberi, sempat diulas pernyataan Soekarno diatas. Kata
Numberi, Soekarno pernah berjanji untuk menjadikan orang Papua tuan
diatas tanahnya sendiri. Tetapi pendekatan pembangunan yang dibangun
selama pemerintahan Orde Baru telah melukai Hati orang Papua. Dari tahun
ke tahun, telah dibuat banyak operasi. Mulai dari operasi koteka hingga
isu genosida yang sedang gencar di tanah Papua.
“Whats wrong”, Numberi bertanya.
Menurut
Numberi (2014, 398), isu Papua merdeka itu dilahirkan oleh Presiden
pertama RI Ir Soekarno. Pada tahun 1948, Soekarno terbitkan
Undang-Undang Nomor 22 1948 tentang Provinsi Irian Barat yang
berkedudukan sementara di Soasiu Pulau Tidore. Tetapi dengan adanya
Trikora pada tanggal 19 Desember 1960, maka Soekarno sendirilah yang
menyebut “Negara Papua”. Pernyataan Bung Karno dalam Trikora berbunyi
“Bubarkan Negara Boneka Papua Buatan Belanda”. Inilah yang menjadi dasar
polemik hingga menelan korban jiwa yang tidak sedikit di tanah Papua.
Numberi juga masih mengutip pernyataan Pendeta I.S. Kijne sebelum meninggalkan Papua di pelabuhan Serui, 1958: “Di Tanah ini (Papua) kita dapat memegang kemudi, tetapi bukan kita yang menentukan angin dan arusnya”. Kijne juga pernah mengatakan: “Tiada
seorang pandai dan berhikmat sekalipun yang dapat memimpin Papua
kecuali kelak orang Papua itu sendiri bangkit dan memimpin diri mereka
sendiri”. Sumber : swarapapua