Pendahuluan
“Sejarah Papua dimulai pada saat orang Papua
menyadari bahwa mereka sedang dijajahsehingga mereka bangkit dan menyatakan
tekad dan sikapnya terhadap penjajah.”Pernyataan Tom Beanal kepada Benny Giay
(2000:13) tersebut sangat jelasmenunjukkan bahwa salah satu identitas (bangsa?)
Papua adalah sejarahketertindasan, penderitaan, dan kekerasan. Oleh sebab
itulah jika memulaipenulisan sejarah Papua tidak dimulai dengan kapan Belanda
mendarat di Papuadan mengambil tanah ini. Bukan juga sejak kapan Tidore dan
Ternate menjajahPapua. Keterangan tersebut memang tetap diperlukan, tetapi
bukanlah yang utama.Data-data itu hanya berfungsi sebagai pelengkap. Sejarah
orang Papua danterbentuknya identitasnya dimulai pada saat orang Papua sadar
bahwa merekasedang dijajah dan kemudian bangkit untuk merebut kembali
kemerdekaan itu.Lahirnya kesadaran baru itulah yang merupakan awal dari
perjalanan sejarah orang Papua.
Begitu pentingnya menempatkan sejarah penderitaan
ini (memoria passionis) membuktikan bahwa ingatan sosial rakyat Papua
atas kekerasan yang dilakukan oleh stateapparatus (aparatur negara
seperti tentara dan polisi) dari pemerintahIndonesia akan terus tereproduksi,
terwariskan, dan menciptakan penafsiran-penafsiran baru dalam kehidupan rakyat
Papua. Membayangkan identitas Papua berarti juga mengelola bagaimana ingatan
penderitaan dan kekerasan ini harus diletakkan dalam konteks penulisan sejarah
rakyat Papua.
Luka MemoriaPassionis
Narasi dari memoria passionis rakyat
Papuaselama pengalaman hidupnya dan berinteraksi dengan pemerintah Indonesia
begitubanyak jumlahnya. Narasi-narasi itu tidak akan pernah tercatat dalam
pelajaransejarah. Jangan harap itu bisa terjadi. Yang terjadi justru adalah
pengingkarandan pengulangan secara terus-menerus kekerasan itu hingga hari ini.
Luka kekerasan dan penderitaan itu berserakan jumlahnya di tengah masyarakat
Papua.Ingatan sosial tersebut tersimpan rapi dibalik perjuangan rakyat
dikampung-kampung bertahan hidup. Sebelumnya tempat mereka, teteh, ataupunsanak-saudara
mereka dihilangkan dengan paksa di depan mata mereka. Dan tak ada yang
memedulikannya.
Catatan dan kesaksian mereka beberapa diantaranya
sudah dituliskan di media massa atau pun termuat sebagian kecil di laporan
beberapa LSM bidang HAM. Narasi dan pengalaman rakyat Papua bersentuhan dengan
kekerasan ataupun pembangunan sering dianggap hal yang remeh. Pandangan ini
mengikuti perspektif penyederhanaan artidan makna dari manusia dalam
kesleuruhan proses kebijakan pembangunan. Manusiahanya dianggap sebagai deretan
angka-angka, hanya soal kwantitas bukan bagaimana dinamika dan perjuangan
mereka yang memberikan pelajaran daninspirasi bagi pelaksanaan kebijakan
pembangunan misalnya.
Dalam konteks Papua, saya kira harus dihentikan
perspektif penyederhanaan dalam melihat manusia Papua. Justru menurut saya
sangat penting artinya dokumen sejarah yang mengangkat pengalaman dan kejadian
masa lampau. Dokumen berbentukkesaksian dan pengalaman rakyat Papua yang
mengalami perjuangan HAM amat penting untuk merekonstruksi—menyusun kembali-sejarah
bangsa Papua menuju Papua Baru. Kerena pengalaman lampau sangat menentukan
pemahaman diri orang Papuasekarang, dan masa depannya sebagai suatu bangsa.
Sehingga usaha untuk mencari dokumen sejarah mejadi suatu agenda prioritas,
khususnya dokumen sejarah pengalaman dan kesaksian rakyat Papua yang melimpah
jumlah (Giay,2000).
Dokumen itu menjadi bahan yang sangat penting
bagi gerakan besar untuk melakukan penulisan kembali sejarah orang Papua.
Dokumen-dokumen historis ada di dalam pengalaman sejarah dan pemahaman diri
bangsa Papua yang dipengaruhi oleh rangkaian peristiwa sejarah yang terjadi di
tanahnya sendiri. Orang Papua yang telah mengikuti perjalanan sejarah sejak
zaman Belanda bangsa Papua hingga sekarang di bawah pemerintahan RI
adalah sumber dan saksi-saksi sejarah yang dapat dipercaya. Kita tidak perlu
mencari dokumen sejarah di mana-mana. Dokumen sejarah dari luar negeri, tentu
tetap dibutuhkan tetapi hanya sebatas melengkapi. Bukan sebagai dokumen utama.
Memoria Passionis adalah sebuah
gerakanideologis dan intelektual untuk menyelami sejarah sunyi bangsa Papua.
Jika kitatanpa prasangka mengunjungi pelosok-pelosok Tanah Papua: Wamena,
Paniai,pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Mindiptana, Timika, Arso,
Memberamo danyang lainnya maka dengan mudah kita akan mendengar kisah-kisah
sejarah penderitaan yang keluar dari mulut masyarakat biasa. Ingatan rakyat
dengan tajam dan jernih mencatat rekaman peristiwa-peristiwa kekerasan yang
mereka alami dan menjadi luka sepanjang hidup mereka.
Cerita-cerita tentang kegetiran dan perjuangan
hidup rakyat Papua menghadapi penindasan dan kekerasan tidak pernah dibukukan,
tetapi diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Nada dasar segala
ungkapannya: kamidinilai bukan manusia. Artinya kami tidak diperlakukan
sebagai manusia tetapi sebagai obyek: obyek kebijakan politik, obyek operasi
militer, obyek pengembangan ekonomi, obyek turisme dan lain sebagainya.
Kenyataan-kenyataan ini tersusun selama puluhan tahun dan menggelora sebagai
sejarah bangsa Papua. Sejarah ini tidak pernah menjadi sejarah resmi bangsa
yang diajarkan disekolah-sekolah. Rangkaian peristiwa ini hanya menjadi bagian
dari ingatankolektif bangsa Papua. Ingatan itulah yang diwariskan
turun-temurun, yang berarti juga pewarisan trauma korban. Seorang teolog Johan
Baptist Metz pernah melukiskan bobot ingatan akan sejarah ini dengan memakai
istilah memoria passionis, ialah ingatan penderitaan. Memoria
passionis ini bagaikan magma yang tersembunyi dari pandangan mata biasa
tetapi menyimpan energy laten yang dahsyat dan siap menjungkir balikkan status
quo yang ada(Giay, 2000:8-9; J. Budi Hernawan dan Theo van den Broek, 1999).
Pertanyaannya sekarang adalah apakah pengalaman memoria
passionis tersebut mampu menjadi akumulasi pengetahuan bagi sebagian besar rakyat
Papua ? Setelah itu, apakah pengalaman memoria passionis mampu
menggerakkan rakyat Papua untuk mengkontruksi dirinya menjadi bagian dari
ingatan kekerasan dan penderitaan tersebut ? Hingga saat ini identifikasi dan
akumulasi pengetahuan memoria passionis itu belum secara maksimal
berlangsung di Papua dan menjadi sebuah cermin dan identitas diri rakyat Papua.
Beriringan dengan mengingat kembali memoria passionis itu, tawaran gula-gula
Otonomi Khusus(Otsus) dan kesejahteraan semakin menghimpit rakyat Papua. Kedua
sisi ini (memoria passionis dan kesejahteraan ekonomi yang ditawarkan
oleh Otsus) mengaburkan kemana identitas rakyat Papua seharusnya diidentikkan.
Logika kesejahteraan ekonomi yang ditawarkan Otsus mengaburkan spirit memoria
passionis yang dirancang menjadi sebuah gerakan sosial di Tanah Papua. Dan
semuanya didesain dan dilakukan oleh orang Papua sendiri.
Membayangkan identitas Papua kini bagai serial
yang menuntun kita untuk memeriksa kembaliperjalanan sejarah rakyat Papua. Di
dalam fragmen-fragmen sejarah itu, terdapat satu hal yang seolah terlupakan dan
dianggap dengan mudah diselesaikan melalui gelontoran triliunan rupiah
berbentuk kesejahteraan ekonomi yang ditawarkanoleh Otsus Papua. Jika rakyat
Papua mengasosiasikan dirinya berada dalam lingkaran memoria passionis, menjadi
bagian dari penderitaan yang dialami oleh rakyat sebelumnya, maka memoria
passionis ini telah menjadi “identitas”dan momentum bagi rakyat Papua untuk
melanjutkannya menjadi sebuah gerakan sosial, dimana kemudian rakyat Papua
menjalin solidaritas terhadap pengalaman memoria passionis ini.
Namun tantangannya justru tidak ringan.
Keterpecahan sosial di tengah rakyat Papua dan gula-gula kesejahteraan
ekonomi mengancam solidaritas tersebut. Perbaikan ekonomi dan kesejahteraan
tentu saja penting bagi rakyat Papua kini dan seterusnya. Namun, kesejahteraan
ekonomi danOtsus hadir seolah-olah menutup rapat luka memoriapassionis ini.
Hal ini misalnya ditunjukkan dengan pernyataan bahwa permasalahan di Papua
adalah (seolah-olah hanya) kesejahteraan ekonomi. Jadi logikanya adalah cukup
dengan memberikan uang dan persoalan Papua akan selesai. Dan secara tidak
langsung saya kira itu menyederhanakan permasalahan dan menganggap rakyat Papua
(di)miskin(kan). Justru yang terjadi adalah rakyat Papua dimiskinkan di
tanahnya yang sangat kaya itu.
Mengimajinasikan identitas Papua adalah
perjuangan untuk memediasi pengalaman memoria passionis menjadi semangat
dan solidaritas bersama bagi rakyat Papua. Hal ini semata-mata dilakukan karena
memoria passionis menjadi salah satu bagian sejarah terbentuknya
sejarah, identitas, dan perjuangan rakyat Papua untuk menegakkan harkat dan
martabatnya.
Staf Pendidik/Dosen di Jurusan
Antropologi Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua
Barat. Emailnya: ngurahsuryawan@gmail.com
" Look To Jesus Is Lifes Way "