Sabtu, 06 September 2014

Memoria Passionis dan Imajinasi Identitas Papua


Pendahuluan

“Sejarah Papua dimulai pada saat orang Papua menyadari bahwa mereka sedang dijajahsehingga mereka bangkit dan menyatakan tekad dan sikapnya terhadap penjajah.”Pernyataan Tom Beanal kepada Benny Giay (2000:13) tersebut sangat jelasmenunjukkan bahwa salah satu identitas (bangsa?) Papua adalah sejarahketertindasan, penderitaan, dan kekerasan. Oleh sebab itulah jika memulaipenulisan sejarah Papua tidak dimulai dengan kapan Belanda mendarat di Papuadan mengambil tanah ini. Bukan juga sejak kapan Tidore dan Ternate menjajahPapua. Keterangan tersebut memang tetap diperlukan, tetapi bukanlah yang utama.Data-data itu hanya berfungsi sebagai pelengkap. Sejarah orang Papua danterbentuknya identitasnya dimulai pada saat orang Papua sadar bahwa merekasedang dijajah dan kemudian bangkit untuk merebut kembali kemerdekaan itu.Lahirnya kesadaran baru itulah yang merupakan awal dari perjalanan sejarah orang Papua.      
Begitu pentingnya menempatkan sejarah penderitaan ini (memoria passionis) membuktikan bahwa ingatan sosial rakyat Papua atas kekerasan yang dilakukan oleh stateapparatus (aparatur negara seperti tentara dan polisi) dari pemerintahIndonesia akan terus tereproduksi, terwariskan, dan menciptakan penafsiran-penafsiran baru dalam kehidupan rakyat Papua. Membayangkan identitas Papua berarti juga mengelola bagaimana ingatan penderitaan dan kekerasan ini harus diletakkan dalam konteks penulisan sejarah rakyat Papua.
Luka MemoriaPassionis  
Narasi dari memoria passionis rakyat Papuaselama pengalaman hidupnya dan berinteraksi dengan pemerintah Indonesia begitubanyak jumlahnya. Narasi-narasi itu tidak akan pernah tercatat dalam pelajaransejarah. Jangan harap itu bisa terjadi. Yang terjadi justru adalah pengingkarandan pengulangan secara terus-menerus kekerasan itu hingga hari ini. Luka kekerasan dan penderitaan itu berserakan jumlahnya di tengah masyarakat Papua.Ingatan sosial tersebut tersimpan rapi dibalik perjuangan rakyat dikampung-kampung bertahan hidup. Sebelumnya tempat mereka, teteh, ataupunsanak-saudara mereka dihilangkan dengan paksa di depan mata mereka. Dan tak ada yang memedulikannya.
Catatan dan kesaksian mereka beberapa diantaranya sudah dituliskan di media massa atau pun termuat sebagian kecil di laporan beberapa LSM bidang HAM. Narasi dan pengalaman rakyat Papua bersentuhan dengan kekerasan ataupun pembangunan sering dianggap hal yang remeh. Pandangan ini mengikuti perspektif penyederhanaan artidan makna dari manusia dalam kesleuruhan proses kebijakan pembangunan. Manusiahanya dianggap sebagai deretan angka-angka, hanya soal kwantitas bukan bagaimana dinamika dan perjuangan mereka yang memberikan pelajaran daninspirasi bagi pelaksanaan kebijakan pembangunan misalnya.      
Dalam konteks Papua, saya kira harus dihentikan perspektif penyederhanaan dalam melihat manusia Papua. Justru menurut saya sangat penting artinya dokumen sejarah yang mengangkat pengalaman dan kejadian masa lampau. Dokumen berbentukkesaksian dan pengalaman rakyat Papua yang mengalami perjuangan HAM amat penting untuk merekonstruksi—menyusun kembali-sejarah bangsa Papua menuju Papua Baru. Kerena pengalaman lampau sangat menentukan pemahaman diri orang Papuasekarang, dan masa depannya sebagai suatu bangsa. Sehingga usaha untuk mencari dokumen sejarah mejadi suatu agenda prioritas, khususnya dokumen sejarah pengalaman dan kesaksian rakyat Papua yang melimpah jumlah (Giay,2000).
Dokumen itu menjadi bahan yang sangat penting bagi gerakan besar untuk melakukan penulisan kembali sejarah orang Papua. Dokumen-dokumen historis ada di dalam pengalaman sejarah dan pemahaman diri bangsa Papua yang dipengaruhi oleh rangkaian peristiwa sejarah yang terjadi di tanahnya sendiri. Orang Papua yang telah mengikuti perjalanan sejarah sejak zaman Belanda  bangsa Papua hingga sekarang di bawah pemerintahan RI adalah sumber dan saksi-saksi sejarah yang dapat dipercaya. Kita tidak perlu mencari dokumen sejarah di mana-mana. Dokumen sejarah dari luar negeri, tentu tetap dibutuhkan tetapi hanya sebatas melengkapi. Bukan sebagai dokumen utama.
Memoria Passionis adalah sebuah gerakanideologis dan intelektual untuk menyelami sejarah sunyi bangsa Papua. Jika kitatanpa prasangka mengunjungi pelosok-pelosok Tanah Papua: Wamena, Paniai,pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Mindiptana, Timika, Arso, Memberamo danyang lainnya maka dengan mudah kita akan mendengar kisah-kisah sejarah penderitaan yang keluar dari mulut masyarakat biasa. Ingatan rakyat dengan tajam dan jernih mencatat rekaman peristiwa-peristiwa kekerasan yang mereka alami dan menjadi luka sepanjang hidup mereka.
Cerita-cerita tentang kegetiran dan perjuangan hidup rakyat Papua menghadapi penindasan dan kekerasan tidak pernah dibukukan, tetapi diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Nada dasar segala ungkapannya: kamidinilai bukan manusia. Artinya kami tidak diperlakukan sebagai manusia tetapi sebagai obyek: obyek kebijakan politik, obyek operasi militer, obyek pengembangan ekonomi, obyek turisme dan lain sebagainya. Kenyataan-kenyataan ini tersusun selama puluhan tahun dan menggelora sebagai sejarah bangsa Papua. Sejarah ini tidak pernah menjadi sejarah resmi bangsa yang diajarkan disekolah-sekolah. Rangkaian peristiwa ini hanya menjadi bagian dari ingatankolektif bangsa Papua. Ingatan itulah yang diwariskan turun-temurun, yang berarti juga pewarisan trauma korban. Seorang teolog Johan Baptist Metz pernah melukiskan bobot ingatan akan sejarah ini dengan memakai istilah memoria passionis, ialah ingatan penderitaan. Memoria passionis ini bagaikan magma yang tersembunyi dari pandangan mata biasa tetapi menyimpan energy laten yang dahsyat dan siap menjungkir balikkan status quo yang ada(Giay, 2000:8-9; J. Budi Hernawan dan Theo van den Broek, 1999).
Pertanyaannya sekarang adalah apakah pengalaman memoria passionis tersebut mampu menjadi akumulasi pengetahuan bagi sebagian besar rakyat Papua ? Setelah itu, apakah pengalaman memoria passionis mampu menggerakkan rakyat Papua untuk mengkontruksi dirinya menjadi bagian dari ingatan kekerasan dan penderitaan tersebut ? Hingga saat ini identifikasi dan akumulasi pengetahuan memoria passionis itu belum secara maksimal berlangsung di Papua dan menjadi sebuah cermin dan identitas diri rakyat Papua. Beriringan dengan mengingat kembali memoria passionis itu, tawaran gula-gula Otonomi Khusus(Otsus) dan kesejahteraan semakin menghimpit rakyat Papua. Kedua sisi ini (memoria passionis dan kesejahteraan ekonomi yang ditawarkan oleh Otsus) mengaburkan kemana identitas rakyat Papua seharusnya diidentikkan. Logika kesejahteraan ekonomi yang ditawarkan Otsus mengaburkan spirit memoria passionis yang dirancang menjadi sebuah gerakan sosial di Tanah Papua. Dan semuanya didesain dan dilakukan oleh orang Papua sendiri.
Membayangkan identitas Papua kini bagai serial yang menuntun kita untuk memeriksa kembaliperjalanan sejarah rakyat Papua. Di dalam fragmen-fragmen sejarah itu, terdapat satu hal yang seolah terlupakan dan dianggap dengan mudah diselesaikan melalui gelontoran triliunan rupiah berbentuk kesejahteraan ekonomi yang ditawarkanoleh Otsus Papua. Jika rakyat Papua mengasosiasikan dirinya berada dalam lingkaran memoria passionis, menjadi bagian dari penderitaan yang dialami oleh rakyat sebelumnya, maka memoria passionis ini telah menjadi “identitas”dan momentum bagi rakyat Papua untuk melanjutkannya menjadi sebuah gerakan sosial, dimana kemudian rakyat Papua menjalin solidaritas terhadap pengalaman memoria passionis ini.
Namun tantangannya justru tidak ringan. Keterpecahan sosial di tengah rakyat Papua dan gula-gula kesejahteraan ekonomi mengancam solidaritas tersebut. Perbaikan ekonomi dan kesejahteraan tentu saja penting bagi rakyat Papua kini dan seterusnya. Namun, kesejahteraan ekonomi danOtsus hadir seolah-olah menutup rapat luka memoriapassionis ini. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan pernyataan bahwa permasalahan di Papua adalah (seolah-olah hanya) kesejahteraan ekonomi. Jadi logikanya adalah cukup dengan memberikan uang dan persoalan Papua akan selesai. Dan secara tidak langsung saya kira itu menyederhanakan permasalahan dan menganggap rakyat Papua (di)miskin(kan). Justru yang terjadi adalah rakyat Papua dimiskinkan di tanahnya yang sangat kaya itu.
Mengimajinasikan identitas Papua adalah perjuangan untuk memediasi pengalaman memoria passionis menjadi semangat dan solidaritas bersama bagi rakyat Papua. Hal ini semata-mata dilakukan karena memoria passionis menjadi salah satu bagian sejarah terbentuknya sejarah, identitas, dan perjuangan rakyat Papua untuk menegakkan harkat dan martabatnya.            
Staf Pendidik/Dosen di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat. Emailnya: ngurahsuryawan@gmail.com


" Look To Jesus Is Lifes Way "

0 comments:

Posting Komentar

Ingatan

Hanya " SATU PAPUA " Dari Dulu Menjadi " SATU Dan KUAT " Demi Mewujudkan Impian Masa Depan Bangsa Papua. Menulis tentang apa yang saya saksikan dengan MATA, HATI, dan PIKIRAN ke-MELANESIA-an saya di West Papua sebelum menerima salah satu bagian dari hidup yang mutlak, yakni KEMATIAN...

Message For Visitor

=== Write about what I see with EYES, HEART and MIND the MELANESIA's Version my West Papua before receiving one part of life is absolute, ie DEATH ===